Selasa, 17 Mei 2016

RUANG LINGKUP ILMU HADITS


                                     RUANG LINGKUP ILMU HADITS

Sejarah Singkat Kodifikasi Hadis

Al-Hadits merupakan sumber hukum utama sesudah Al-Qurâ’an. Keberadaan al-Hadits merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran. Hal ini karena tugas Rasul adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni Al-Quran. Sedangkan Al-Hadits, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Quran itu sendiri.

Upaya kodifikasi al-Hadits secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd. Al-Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah saw. Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan otentisitas al-Hadits.

Proses kodifikasi hadits atau Tadwiin Al-Hadits yang dimaksudkan adalah proses pembukuan hadits secara resmi yang dilakukan atas instruksi Khalifah, dalam hal ini adalah Khalifah Umar bin Abd al-Aziz (memerintah tahun 99-101 H). Beliau merasakan adanya kebutuhan yang sangat mendesak untuk memelihara perbendaraan sunnah. Untuk itulah beliau mengeluarkan surat perintah ke seluruh wilayah kekuasaannya agar setiap orang yang hafal Hadits menuliskan dan membukukannya supaya tidak ada Hadits yang akan hilang pada masa sesudahnya.
Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Umar bin Abd al-Aziz mengirim surat kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm sebagai berikut: Perhatikanlah apa yang ada pada hadits-hadits Rasulullah saw, dan tulislah, karena aku khawatir akan terhapusnya ilmu sejalan dengan hilangnya ulama, dan janganlah engkau terima selain hadits Nabi SAW.[1]
Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm (w. 117 H) untuk mengumpulkan hadits-hadits yang ada pada Amrah binti Abd al-Rahman bin Saâd bin Zaharah al- Anshariyah (21- 98 H) dan al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Shiddiq.
Pengumpulan al-Hadits khususnya di Madinah ini belum sempat dilakukan secara lengkap oleh Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm dan akhirnya usaha ini diteruskan oleh Imam Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri (w. 124) yang terkenal dengan sebutan Ibnu Syihab al-Zuhri. Beliaulah sarjana Hadits yang paling menonjol di jamannya. Atas dasar ini Umar bin Abd al-Aziz pun memerintahkan kepada anak buahnya untuk menemui beliau. Dari sini jelaslah bahwa Tadwin al-Hadits bukanlah semata-mata taktib al-Hadits (penulisan al-Hadits).
Tadwin al-Hadits atau kodifikasi al-Hadits merupakan kegiatan pengumpulan al-Hadits dan penulisannya secara besar-besaran yang disponsori oleh pemerintah (khalifah). Sedangkan kegiatan penulisan al-Hadits sendiri secara tidak resmi telah berlangsung sejak masa Rasulullah saw masih hidup dan berlanjut terus hingga masa kodifikasi. [2]
G. Unsur-Unsur Yang Terkandung Dalam Hadis Adalah :

1.  Sanad
Sanad atau thariq, ialah jalan yang dapat menyambungkan matnul hadits kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw. Dalam bidang ilmu hadits sanad itu merupakan neraca untuk menimbang shahih atau dhaifnya. Andai kata salah seorang dalam sanad ada yang fasik atau yang tertuduh dusta atau jika setiap para pembawa berita dalam mata rantai sanad tidak bertemu langsung (muttashil), maka hadits tersebut dhaif sehingga tidak dapat dijadikan hujjah. Demikian sebaliknya jika para pembawa hadits tersebut orang-orang yang cakap dan cukup persyaratan, yakni adil, takwa, tidak fasik, menjaga kehormatan diri (muru’ah), dan memilikimdaya ingat yang kredibel, sanadnya bersambung dari satu periwayat ke periwayat lain sampai pada sumber berita pertama, maka haditsnya dinilai shahih.
2.  Matan
Kata matan menurut bahasa berarti: keras, kuat, suatu yang nampak dan yang asli. Dalam perkembangan karya penulisan ada matan dan syarah. Matan disini di maksudkan karya atau karangan asal seseorang yang pada umumnya menggunakan bahasa yang universal, padat, dan singkat. Dimaksudkan dalam konteks hadits, hadits sebagai matan kemudian diberikan syarah atau penjelasan yang luas oleh para ulama, misalnya Shahih Bukhari disyarahkan oleh Al-Asqolani dengan nama Fath al-Bari’.
ما ينتهى إليه السند من الكلام

Yang di sebut dengan matnul hadits, ialah pembicaraan (kalam) atau materi berita setelah sanad terakhir disebutkan. Baik pembicaraan itu sabda Rasulullah saw, sahabat atau tabi’in. Baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi, maupun perbuatan sahabat yang tidak di sanggah oleh Nabi.7 Misalnya, Al-Hakim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda,”Penghulu syuhada adalah Hamzah dan orang yang berdiri dihadapan penguasa untuk menasehatinya lantas ia dibunuh karenanya”. Pernyataan demikian merupakan matan (isi dari sebuah hadits) yang diriwayatkan oleh Imam Malik. Contoh lain, Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda,”Masyarakat itu berserikat dalam tiga barang: air, padang gembalaan, dan api”. Sabda Rasul tersebut merupakan matan hadits yang diriwayatkan oleh kedua perawi hadits tersebut.
3.  Rawi
Rawi adalah orang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (guru). Seorang penyusun atau pengarang, bila hendak menguatkan suatu hadis yang ditakhrijkan dari suatu kitab hadis pada umumnya membubuhkan nama rawi (terakhirnya) seperti Imam Muslim, Imam Bukhari, Abu Daud, Ibnu Mazah, dan lain sebagainya, pada akhir matnul hadis.
.
H. Macam-Macam Hadis Ditinjau Dari Segi Kualitasnya

Adapun Mengenai pembagian hadis ditinjau dari segi kualitasnya adalah sebagai berikut:

1.      Hadis Shahih
Ibn al-Shalah merumuskan bahwa Hadis shahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang yang berwatak adil dan dhabith, masing-masing memiliki tingkatan sendiri hingga tingkatan tertinggi. tidak ada syadz dan tidak pula mengandung cacat (illat).
Definisi itu kemudian diringkas oleh Imam al-Nawawi, sebagaimana  dikutip oleh al-Suyuthi, hadis sahih adalah Hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang-orang adil dan dhabit, serta tidak syadz dan tidak cacat.

Dengan kata lain, Hadis shahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah, dan terselamatkan dari syadz dan tidak ada cacat atau kekurangan.
Dari pengertian ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa kriteria hadis shahih  adalah:
a.Sanadnya bersambung (ittishal al-sanad) artinya rawi pertama hingga rawi terakhir bersambung di dalam penerimaan hadisnya. Selain itu juga sesuai dengan metode yang ditetapkan oleh para ulama ahli hadis.

b.Diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah (‘adil dan Dhabith)

1) ‘Adil adalah adalah sifat yang yang ada pada seseorang yang senantiasa mendorong untuk bertakwa dan menjaga kredibilitasnya. Ini terkait dengan dimensi moral spiritual. Seorang yang ‘adil adalah orang tidak mengerjakan dosa besar dan tidak mengekali diri berbuat dosa-dosa kecil secara menerus, karena mengerjakan dosa kecil secara terus menerus sama dengan mengerjakan dosa besar.

2)‎ Dhabith adalah sifat terpercaya, hafal di luar kepala, mengetahui arti hadis, dan mampu untuk menceritakan setiap saat sesuai dengan redaksi saat ia menerima hadis.
Dhabith ada dua macam:

a.Dhabith shadri, yaitu benar-benar hafal dalam hatinya. Sehingga mampu mengingat dengan baik apa yang telah ia dengar dan mampu mengeluarkan ingatan tersebut kapan pun diperlukan.

b.Dhabith kitabi, yaitu rawi yang ingatannya berdasarkan catatan yang dibuatnya semenjak dia mendengar/menerima suatu hadis dan mampu menjaga tulisan tersebut dari kerusakan ataupun cacat.

c.Tidak ada unsur syadz yaitu tidak bertentangan dengan riwayat lain yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih tsiqah atau rawi yang lebih banyak, dan tidak bisa dikumpulkan.

d.Tidak adanya ‘illat yaitu kecacatan yang dapat menghalangi sebuah hadis mencapai tingkatan sahih.

Hadis Shahih  sendiri dibagi menjadi dua macam, yaitu:

a.Shahih lidzatih adalah sebuah hadis yang telah memenuhi semua syarat hadis shahih dan tingkatan rawi berada pada tingkatan tertinggi.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ  ص ع وَعَنْ ‏حُسَيْنٍ الْمُعَلِّمِ قَالَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ ‏:‏ لا يُؤْمِنُ ‏أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ  (رواه البخارى)‏
b.Shahih lighayrih adalah hadis yang tidak menetapi persyaratan hadis shahih secara sempurna, misalnya, rawi kurang memiliki ingatan hafalan yang kuat sehingga digolongkan sebagai hadis hasan, namun karena didukung oleh hadis lain yang satu tema dan kualitasnya seimbang atau bahkan lebih tinggi maka hadis tersebut dinamakan shahih lighayrih. Contoh hadis ini adalah sebagai berikut:
Hadis dari Muhammad bin Amr dari Abi Salamah dari Abi Hurairah bahwa Nabi bersabda‏:‏
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِى سَلَمَةَ عَنْ أَبِى ‏هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ ‏بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ  (رواه الترمذى(
Hadis ini termasuk kategori shahih lighayrih menurut Ibn Shalah, karena Muhammad bin Amr bin Alqamah adalah orang yang lemah dalam hafalan dan kecerdasannya. Namun demikian, hadis di atas dikuatkan oleh jalur lain, yaitu oleh al-A'raj bin Hurmuz dan Sa'id al Maqbari maka bisa dikategorikan shahih lighayrih.
2.      Hadis Hasan
Yang dimaksud  dengan hadis hasan adalah hadis yang sanadnya bersambung, dari awal hingga akhir, para periwayatnya bersifat adil namun kdabitannya tidak mencapai derajat sahih, serta terhindar dari kejanggalan (syaz) dan cacat (illat). Perbedaan pokok antara hadis sahih dan hadis hasan dala hal ini adalah pada kedabitan periwayat. Pada hadis sahih, kualifikasi kedabitan periwayat bertingkat sempurna, sedang pada hadis hasan kedabitan periwayat itu kurang sdikit, namun kekurangannya itu tidak sampai menjadikan hadis yang diriwayatkannya berkualitas lemah. Kualifikasi kedabitan seperti itu dalam ilmu hadis diberi istilah khafifud-dabt.
3.      Hadis Dha’if
Yang dimaksud hadis da’if adalah hadis yang tidak memenuhi sebagian atau seluuh syarat hadis sahih atau hasan., misalnya, sanadnya ada yang terputus, di antara periwayat ada yang pen-dusta atau tidak dikenal, dan lain-lain. Seperti halnya hadis Hasan itu dapat naik tingkatannya menjadi shahih li ghairih, ada hadis dha’if tertentu yang dapat naik tingkatan menjadi Hasan li ghairih. Yaitu hadis yang di dalam sanadnya terdapat periwayat yang tidak terkenal di kalangan ulama Hadis. Orang tersebut tidak dikenal banyak salah, tidak pula dikenal berdusta. Kemudian, hadis ini dikuatkan oleh hadis yang sama melalui jalur lain

Hadis yang dha’ifhya disebabkan oleh hal di atas digunakan oleh banyak orang Islam untuk dalil fadha^ilul a’mal. Adapun hadis dha’if jenis lain tidak dibenarkan untuk dalil keagamaan karena kadar kedhaifan-nya tinggi. Dha’if seperti ini juga tidak dapat naik derajatnya men­jadi hasan lighairih.
I. Macam-Macam Hadis Ditinjau Dari Segi Kuantitasnya

Kuantitas hadis disini yaitu dari segi jumlah orang yang meriwayatkan suatu hadis atau dari segi jumlah sanadnya. Jumhur (mayoritas) ulama membagi hadis secara garis besar menjadi dua macam, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad , disamping pembagian lain yang diikuti oleh sebagian para ulama, yaitu pembagian menjadi tiga macam yaitu: hadis mutawatir , hadis masyhur (hadis mustafidh) dan hadis ahad.

1.      Pengertian Hadis Mutawatir

Dari segi bahasa, mutawatir, berarti sesuatu yang datang secara beriringan tanpa diselangai antara satu sama lain. Adapun dari segi istilah yaitu Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal mereka dan seterusnya sampai akhir sanad. Dan sanadnya mereka adalah pancaindra. Berdasarkan definisinya ada 4 kriteria hadis mutawatir, yaitu sebagai berikut :

        Adanya Jumlah Banyak Pada Seluruh Tingkatan Sanad
        Mustahil Bersepakat Bohong
        Sandaran Berita Itu Pada Pancaindra
2.      Pengertian Hadis Ahad

Hadist ahad menurut bahasa berarti hadist satu-satu. Sebagaimana halnya dengan pengertian hadist mutawatir , maka pengertian hadist ahad , menurut bahasa terasa belum jelas. Oleh karena itu, ada batasan yang diberikan oleh ulama batasan hadist ahad antara lain berbunyi: Hadist Ahad adalah hadist yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi hadist mutawatir , baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima atau seterusnya, tetapi jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa hadist dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok hadist mutawatir , atau dengan kata lain Hadis Ahad adalah hadis yang tidak mencapai derajat mutawatir.
J. Metode Penelitian Sanad Hadis Dan Matan Hadis

Pengertian kata “Metode” menurut Suparlan Suhartono adalah suatu proses yang sistematik berdasarkan prinsip-prinsip dan teknik-teknik ilmiah yang dipakai oleh suatu disiplin untuk suatu tujuan.[3]

Dengan pengertian bahwa motode tersebut adalah metode yang digunakan para ulama kritikus hadis dalam melakukan tolok-ukur sebagai kritik matan hadis dengan menguji kualitas sanadnya.

Sunnah sebagai sumber hukum Islam, dijustifikasi dengan jelas dari berbagai firman Allah, sabda Nabi dan tradisi khulafa ar-Rasyidin, sunnah diposisikan sebagai interpretasi firman Allah. Namun, disisi keurgensiannya hadits sebagai sumber hukum Islam. Hadits atau sunnah pernah menjadi alat yang paling efektif dalam memecahkan persatuan kesatuan umat Islam.
Jarh dan Ta’dil sebenarnya berasal dari ilmu rijalil hadits. Tetapi, karena ilmu ini memiliki ciri dan spesifikasi yang agak unik, maka ilmu ini berdiri sendiri. Melalui ilmu ini kajian dan penelanjangan terhadap rawi hadits akan terjadi. Kredibilitas perawi hadits akan terukur jelas.
Untuk menghimpun hadits-hadits itu diperlukan kerangka ketelitian yang sangat tinggi, berupa kerangka ontologis (isi), epistemologis (cara) dan aksiologis (tujuan) yang akurat, agar yang dinamakan hadits itu benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Langkah awal para ulama dalam menetapkan kesahihan dan kelemahan suatu hadits adalah menentukan prinsip-prinsip dasar suatu hadits sebagai cara untuk melakukan elaborasi terhadap keberadaan hadits. Objek terpenting dalam penelitian hadits itu terhadap sejumlah periwayat yang mentranspormasikan riwayat hadits (kualitas sanad) dan materi hadits (kualitas matan).
BAB III
P E N U T U P
Kesimpulan

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkakn menjadi beberapa hal sebagai berikut :

1.      Pengertian Hadis adalah Segala ucapan nabi Muhammad, perbuatan dan keadaan  atau perilaku nabi.

2.      Letak perbedaan antara hadis Qudsi dengan Al-Qur’an antara lain pada :  Al-Qur'an adalah wahyu yang lafal dan maknanya dari Allah, sedang hadis Qudsi adalah wahyu dari Allah, namun lafal atau redaksinya dari Nabi SAW Sendiri.

3.      Bentuk hadis itu adakalanya Qouli, Fi’li dan Taqriri

4.      Hadis berfungsi sebagai penjelasan dari hukum-hukum Al-Qur’an yang bersifatmujmal (global)

5.      Hadits atau Sunnah pernah menjadi alat yang paling efektif dalam memecahkan persatuan kesatuan umat Islam.
DAFTAR PUSTAKA
      Al-Qur’an Al-Karim, Al-Maktabah Asy-Syamilah
      Shahih bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah
      Arbain Nawawi, Al-Maktabah Asy-Syamilah
      Hafizh, anshari. 1993. Ensiklopedi Islam . Jakatra : PT. Ichtiar baru Van Hoeve Departemen Agama RI, Pedoman Penyusunan Karya Tulis Ilmiah Bidang Pendidikan Dan Angka Kredit Pengembangan Profesi Guru dan Pengawas, Terbitan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Direktorat Pembinaan Perguruan Agama Islam. Jakarta. 1998/1999
      Al-Nawawi, I. (2001). Dasar-Dasar Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.
      As-Shalih, S. (1997). Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Pustaka Firdaus: Jakarta.
      Abdul Aziz, , Qur’an Hadits Madrasah Aliyah Kelas  III, Wicaksana. Semarang, 1994

1 komentar: