RUANG LINGKUP ILMU HADITS
Sejarah Singkat Kodifikasi Hadis
Al-Hadits merupakan sumber hukum utama
sesudah Al-Qurâ’an. Keberadaan al-Hadits merupakan realitas nyata dari
ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran. Hal ini karena tugas Rasul
adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang
terkandung dalam risalah yakni Al-Quran. Sedangkan Al-Hadits, hakikatnya
tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Quran itu
sendiri.
Upaya kodifikasi al-Hadits secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd. Al-Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah saw. Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan otentisitas al-Hadits.
Upaya kodifikasi al-Hadits secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd. Al-Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah saw. Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan otentisitas al-Hadits.
Proses kodifikasi hadits atau Tadwiin Al-Hadits yang
dimaksudkan adalah proses pembukuan hadits secara resmi yang dilakukan
atas instruksi Khalifah, dalam hal ini adalah Khalifah Umar bin Abd
al-Aziz (memerintah tahun 99-101 H). Beliau merasakan adanya kebutuhan
yang sangat mendesak untuk memelihara perbendaraan sunnah. Untuk itulah
beliau mengeluarkan surat perintah ke seluruh wilayah kekuasaannya agar
setiap orang yang hafal Hadits menuliskan dan membukukannya supaya tidak
ada Hadits yang akan hilang pada masa sesudahnya.
Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Umar bin
Abd al-Aziz mengirim surat kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm
sebagai berikut: Perhatikanlah apa yang ada pada hadits-hadits
Rasulullah saw, dan tulislah, karena aku khawatir akan terhapusnya ilmu
sejalan dengan hilangnya ulama, dan janganlah engkau terima selain
hadits Nabi SAW.[1]
Khalifah menginstruksikan kepada Abu
Bakar bin Muhammad bin Hazm (w. 117 H) untuk mengumpulkan hadits-hadits
yang ada pada Amrah binti Abd al-Rahman bin Saâd bin Zaharah al-
Anshariyah (21- 98 H) dan al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Shiddiq.
Tadwin al-Hadits atau kodifikasi
al-Hadits merupakan kegiatan pengumpulan al-Hadits dan penulisannya
secara besar-besaran yang disponsori oleh pemerintah (khalifah).
Sedangkan kegiatan penulisan al-Hadits sendiri secara tidak resmi telah
berlangsung sejak masa Rasulullah saw masih hidup dan berlanjut terus
hingga masa kodifikasi. [2]
Sanad atau thariq, ialah jalan yang dapat
menyambungkan matnul hadits kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw.
Dalam bidang ilmu hadits sanad itu merupakan neraca untuk menimbang
shahih atau dhaifnya. Andai kata salah seorang dalam sanad ada yang
fasik atau yang tertuduh dusta atau jika setiap para pembawa berita
dalam mata rantai sanad tidak bertemu langsung (muttashil), maka hadits
tersebut dhaif sehingga tidak dapat dijadikan hujjah. Demikian
sebaliknya jika para pembawa hadits tersebut orang-orang yang cakap dan
cukup persyaratan, yakni adil, takwa, tidak fasik, menjaga kehormatan
diri (muru’ah), dan memilikimdaya ingat yang kredibel, sanadnya
bersambung dari satu periwayat ke periwayat lain sampai pada sumber
berita pertama, maka haditsnya dinilai shahih.
2. Matan
Kata matan menurut bahasa berarti: keras,
kuat, suatu yang nampak dan yang asli. Dalam perkembangan karya
penulisan ada matan dan syarah. Matan disini di maksudkan karya atau
karangan asal seseorang yang pada umumnya menggunakan bahasa yang
universal, padat, dan singkat. Dimaksudkan dalam konteks hadits, hadits
sebagai matan kemudian diberikan syarah atau penjelasan yang luas oleh
para ulama, misalnya Shahih Bukhari disyarahkan oleh Al-Asqolani dengan
nama Fath al-Bari’.
ما ينتهى إليه السند من الكلام
Yang di sebut dengan matnul hadits, ialah
pembicaraan (kalam) atau materi berita setelah sanad terakhir
disebutkan. Baik pembicaraan itu sabda Rasulullah saw, sahabat atau
tabi’in. Baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi, maupun
perbuatan sahabat yang tidak di sanggah oleh Nabi.7 Misalnya, Al-Hakim
meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda,”Penghulu syuhada adalah
Hamzah dan orang yang berdiri dihadapan penguasa untuk menasehatinya
lantas ia dibunuh karenanya”. Pernyataan demikian merupakan matan (isi
dari sebuah hadits) yang diriwayatkan oleh Imam Malik. Contoh lain, Imam
Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw
bersabda,”Masyarakat itu berserikat dalam tiga barang: air, padang
gembalaan, dan api”. Sabda Rasul tersebut merupakan matan hadits yang
diriwayatkan oleh kedua perawi hadits tersebut.
3. Rawi
Rawi adalah orang menyampaikan atau
menuliskan dalam suatu kitab apa yang pernah didengar dan diterimanya
dari seseorang (guru). Seorang penyusun atau pengarang, bila hendak
menguatkan suatu hadis yang ditakhrijkan dari suatu kitab hadis pada
umumnya membubuhkan nama rawi (terakhirnya) seperti Imam Muslim, Imam
Bukhari, Abu Daud, Ibnu Mazah, dan lain sebagainya, pada akhir matnul
hadis.
.
H. Macam-Macam Hadis Ditinjau Dari Segi Kualitasnya
Adapun Mengenai pembagian hadis ditinjau dari segi kualitasnya adalah sebagai berikut:
1. Hadis Shahih
Ibn al-Shalah merumuskan bahwa Hadis
shahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang
yang berwatak adil dan dhabith, masing-masing memiliki tingkatan sendiri
hingga tingkatan tertinggi. tidak ada syadz dan tidak pula mengandung
cacat (illat).
Definisi itu kemudian diringkas oleh Imam
al-Nawawi, sebagaimana dikutip oleh al-Suyuthi, hadis sahih adalah
Hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang-orang adil dan
dhabit, serta tidak syadz dan tidak cacat.
Dengan kata lain, Hadis shahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah, dan terselamatkan dari syadz dan tidak ada cacat atau kekurangan.
Dari pengertian ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa kriteria hadis shahih adalah:
a.Sanadnya bersambung (ittishal al-sanad) artinya rawi pertama hingga rawi terakhir bersambung di dalam penerimaan hadisnya. Selain itu juga sesuai dengan metode yang ditetapkan oleh para ulama ahli hadis.
b.Diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah (‘adil dan Dhabith)
1) ‘Adil adalah adalah sifat yang yang ada pada seseorang yang senantiasa mendorong untuk bertakwa dan menjaga kredibilitasnya. Ini terkait dengan dimensi moral spiritual.
Seorang yang ‘adil adalah orang tidak mengerjakan dosa besar dan tidak
mengekali diri berbuat dosa-dosa kecil secara menerus, karena
mengerjakan dosa kecil secara terus menerus sama dengan mengerjakan dosa
besar.
2) Dhabith adalah sifat terpercaya, hafal di luar kepala, mengetahui arti hadis, dan mampu untuk menceritakan setiap saat sesuai dengan redaksi saat ia menerima hadis.
Dhabith ada dua macam:
a.Dhabith shadri, yaitu benar-benar hafal dalam hatinya. Sehingga mampu mengingat dengan baik apa yang telah ia dengar dan mampu mengeluarkan ingatan tersebut kapan pun diperlukan.
b.Dhabith kitabi, yaitu rawi yang ingatannya berdasarkan catatan yang dibuatnya semenjak dia mendengar/menerima suatu hadis dan mampu menjaga tulisan tersebut dari kerusakan ataupun cacat.
c.Tidak ada unsur syadz yaitu tidak bertentangan dengan riwayat lain yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih tsiqah atau rawi yang lebih banyak, dan tidak bisa dikumpulkan.
d.Tidak adanya ‘illat yaitu kecacatan yang dapat menghalangi sebuah hadis mencapai tingkatan sahih.
Hadis Shahih sendiri dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a.Shahih lidzatih adalah sebuah hadis yang telah memenuhi semua syarat hadis shahih dan tingkatan rawi berada pada tingkatan tertinggi.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ
شُعْبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ ص ع وَعَنْ حُسَيْنٍ
الْمُعَلِّمِ قَالَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله
عليه وسلم قَالَ : لا يُؤْمِنُ
أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ (رواه البخارى)
b.Shahih lighayrih adalah hadis yang tidak menetapi persyaratan hadis shahih secara sempurna, misalnya, rawi kurang memiliki ingatan hafalan yang kuat sehingga digolongkan sebagai hadis hasan, namun karena didukung oleh hadis lain yang satu tema dan kualitasnya seimbang atau bahkan lebih tinggi maka hadis tersebut dinamakan shahih lighayrih. Contoh hadis ini adalah sebagai berikut:
Hadis dari Muhammad bin Amr dari Abi Salamah dari Abi Hurairah bahwa Nabi bersabda:
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ
سُلَيْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِى سَلَمَةَ عَنْ أَبِى
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : لَوْلاَ أَنْ
أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ (رواه الترمذى(
Hadis ini termasuk kategori shahih lighayrih menurut Ibn Shalah, karena Muhammad bin Amr bin Alqamah adalah orang yang lemah dalam hafalan dan kecerdasannya. Namun demikian, hadis di atas dikuatkan oleh jalur lain, yaitu oleh al-A'raj bin Hurmuz dan Sa'id al Maqbari maka bisa dikategorikan shahih lighayrih.
2. Hadis Hasan
Yang dimaksud dengan hadis hasan adalah
hadis yang sanadnya bersambung, dari awal hingga akhir, para
periwayatnya bersifat adil namun kdabitannya tidak mencapai derajat
sahih, serta terhindar dari kejanggalan (syaz) dan cacat (illat).
Perbedaan pokok antara hadis sahih dan hadis hasan dala hal ini adalah
pada kedabitan periwayat. Pada hadis sahih, kualifikasi kedabitan
periwayat bertingkat sempurna, sedang pada hadis hasan kedabitan
periwayat itu kurang sdikit, namun kekurangannya itu tidak sampai
menjadikan hadis yang diriwayatkannya berkualitas lemah. Kualifikasi
kedabitan seperti itu dalam ilmu hadis diberi istilah khafifud-dabt.
3. Hadis Dha’if
Yang dimaksud hadis da’if adalah hadis
yang tidak memenuhi sebagian atau seluuh syarat hadis sahih atau hasan.,
misalnya, sanadnya ada yang terputus, di antara periwayat ada yang
pen-dusta atau tidak dikenal, dan lain-lain. Seperti halnya hadis Hasan
itu dapat naik tingkatannya menjadi shahih li ghairih, ada hadis dha’if
tertentu yang dapat naik tingkatan menjadi Hasan li ghairih. Yaitu hadis
yang di dalam sanadnya terdapat periwayat yang tidak terkenal di
kalangan ulama Hadis. Orang tersebut tidak dikenal banyak salah, tidak
pula dikenal berdusta. Kemudian, hadis ini dikuatkan oleh hadis yang
sama melalui jalur lain
Hadis yang dha’ifhya disebabkan oleh hal
di atas digunakan oleh banyak orang Islam untuk dalil fadha^ilul a’mal.
Adapun hadis dha’if jenis lain tidak dibenarkan untuk dalil keagamaan
karena kadar kedhaifan-nya tinggi. Dha’if seperti ini juga tidak dapat
naik derajatnya menjadi hasan lighairih.
Kuantitas hadis disini yaitu dari segi
jumlah orang yang meriwayatkan suatu hadis atau dari segi jumlah
sanadnya. Jumhur (mayoritas) ulama membagi hadis secara garis besar
menjadi dua macam, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad , disamping
pembagian lain yang diikuti oleh sebagian para ulama, yaitu pembagian
menjadi tiga macam yaitu: hadis mutawatir , hadis masyhur (hadis
mustafidh) dan hadis ahad.
1. Pengertian Hadis Mutawatir
Dari segi bahasa, mutawatir, berarti
sesuatu yang datang secara beriringan tanpa diselangai antara satu sama
lain. Adapun dari segi istilah yaitu Hadis yang diriwayatkan oleh
sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah
rawi yang semisal mereka dan seterusnya sampai akhir sanad. Dan
sanadnya mereka adalah pancaindra. Berdasarkan definisinya ada 4
kriteria hadis mutawatir, yaitu sebagai berikut :
Adanya Jumlah Banyak Pada Seluruh Tingkatan Sanad
Mustahil Bersepakat Bohong
Sandaran Berita Itu Pada Pancaindra
2. Pengertian Hadis Ahad
Hadist ahad menurut bahasa berarti hadist
satu-satu. Sebagaimana halnya dengan pengertian hadist mutawatir , maka
pengertian hadist ahad , menurut bahasa terasa belum jelas. Oleh karena
itu, ada batasan yang diberikan oleh ulama batasan hadist ahad antara
lain berbunyi: Hadist Ahad adalah hadist yang para rawinya tidak
mencapai jumlah rawi hadist mutawatir , baik rawinya itu satu, dua,
tiga, empat, lima atau seterusnya, tetapi jumlahnya tidak memberi
pengertian bahwa hadist dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok
hadist mutawatir , atau dengan kata lain Hadis Ahad adalah hadis yang
tidak mencapai derajat mutawatir.
J. Metode Penelitian Sanad Hadis Dan Matan Hadis
Pengertian kata “Metode” menurut Suparlan
Suhartono adalah suatu proses yang sistematik berdasarkan
prinsip-prinsip dan teknik-teknik ilmiah yang dipakai oleh suatu
disiplin untuk suatu tujuan.[3]
Dengan pengertian bahwa motode tersebut
adalah metode yang digunakan para ulama kritikus hadis dalam melakukan
tolok-ukur sebagai kritik matan hadis dengan menguji kualitas sanadnya.
Sunnah sebagai sumber hukum Islam, dijustifikasi dengan jelas dari berbagai firman Allah, sabda Nabi dan tradisi khulafa ar-Rasyidin,
sunnah diposisikan sebagai interpretasi firman Allah. Namun, disisi
keurgensiannya hadits sebagai sumber hukum Islam. Hadits atau sunnah
pernah menjadi alat yang paling efektif dalam memecahkan persatuan
kesatuan umat Islam.
Jarh dan Ta’dil sebenarnya
berasal dari ilmu rijalil hadits. Tetapi, karena ilmu ini memiliki ciri
dan spesifikasi yang agak unik, maka ilmu ini berdiri sendiri. Melalui
ilmu ini kajian dan penelanjangan terhadap rawi hadits akan terjadi.
Kredibilitas perawi hadits akan terukur jelas.
Untuk menghimpun hadits-hadits itu
diperlukan kerangka ketelitian yang sangat tinggi, berupa kerangka
ontologis (isi), epistemologis (cara) dan aksiologis (tujuan) yang
akurat, agar yang dinamakan hadits itu benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan. Langkah awal para ulama dalam menetapkan
kesahihan dan kelemahan suatu hadits adalah menentukan prinsip-prinsip
dasar suatu hadits sebagai cara untuk melakukan elaborasi terhadap
keberadaan hadits. Objek terpenting dalam penelitian hadits itu terhadap
sejumlah periwayat yang mentranspormasikan riwayat hadits (kualitas
sanad) dan materi hadits (kualitas matan).
BAB III
P E N U T U P
Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkakn menjadi beberapa hal sebagai berikut :
1. Pengertian Hadis adalah Segala ucapan nabi Muhammad, perbuatan dan keadaan atau perilaku nabi.
2. Letak perbedaan antara hadis Qudsi dengan Al-Qur’an antara lain pada : Al-Qur'an
adalah wahyu yang lafal dan maknanya dari Allah, sedang hadis Qudsi
adalah wahyu dari Allah, namun lafal atau redaksinya dari Nabi SAW
Sendiri.
3. Bentuk hadis itu adakalanya Qouli, Fi’li dan Taqriri
4. Hadis berfungsi sebagai penjelasan dari hukum-hukum Al-Qur’an yang bersifatmujmal (global)
5. Hadits atau Sunnah pernah menjadi alat yang paling efektif dalam memecahkan persatuan kesatuan umat Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim, Al-Maktabah Asy-Syamilah
Shahih bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah
Arbain Nawawi, Al-Maktabah Asy-Syamilah
Hafizh, anshari. 1993. Ensiklopedi Islam . Jakatra : PT. Ichtiar baru Van Hoeve Departemen Agama RI, Pedoman Penyusunan Karya Tulis Ilmiah Bidang Pendidikan Dan Angka Kredit Pengembangan Profesi Guru dan Pengawas, Terbitan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Direktorat Pembinaan Perguruan Agama Islam. Jakarta. 1998/1999
Al-Nawawi, I. (2001). Dasar-Dasar Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.
As-Shalih, S. (1997). Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Pustaka Firdaus: Jakarta.
Abdul Aziz, , Qur’an Hadits Madrasah Aliyah Kelas III, Wicaksana. Semarang, 1994